Oleh: Dedi Saputra, S.Sos., M.I.Kom. ( Akademisi)
Politik di tanah Melayu Jambi, seharusnya menjadi cerminan dari nilai-nilai luhur yang dianut oleh masyarakatnya. Adat Melayu yang berakar kuat dalam budaya Jambi menjunjung tinggi kesantunan, kebijaksanaan, dan musyawarah sebagai jalan utama dalam setiap pengambilan keputusan.
Nilai-nilai ketimuran yang menghormati senioritas, menjaga kehormatan, kejujuran dan mendahulukan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi atau golongan telah lama menjadi pondasi politik Melayu Jambi.
Dalam sejarahnya, pemimpin-pemimpin Jambi selalu diharapkan untuk mengutamakan etika dan moralitas dalam menjalankan tugasnya terutama dalam berpolitik, sehingga kebijakan yang dihasilkan mampu membawa manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat.
Ironisnya, kondisi politik di tanah Melayu Jambi saat ini justru jauh dari nilai-nilai yang seharusnya menjadi dasar pijakan. Ketika masyarakat dihadapkan pada pemilihan Gubernur Jambi, bukan nilai-nilai luhur itu yang mengemuka, melainkan intrik dan permainan kekuasaan yang menguras energi dan pikiran. Isu-isu seperti skema kotak kosong yang mencuat, dimana ada upaya untuk menghilangkan pilihan rakyat demi mengamankan kepentingan segelintir elit, menunjukkan betapa jauhnya praktik politik saat ini dari nilai musyawarah yang seharusnya dipegang teguh.
Tradisi “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah,” yang mengajarkan bahwa setiap tindakan harus dilandasi oleh kebenaran dan keadilan, kini seolah dilupakan. Padahal, dalam tradisi Melayu, seorang pemimpin yang bijaksana adalah mereka yang mampu mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi, dan tidak tergoda oleh godaan kekuasaan yang fana.
Dalam pusaran dinamika politik saat ini, isu “kotak kosong ” menjadi salah satu bukti nyata bagaimana demokrasi di tanah Melayu Jambi sedang mengalami kemunduran. “Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga,” begitulah seloko yang relevan untuk menggambarkan upaya para elit politik yang berusaha memanipulasi proses demokrasi demi kepentingan mereka sendiri dan kelompoknya. Masyarakat yang seharusnya menjadi pemilik suara, justru dipaksa memilih antara ketidakpastian atau ketiadaan pilihan. Wacana skema ini tidak hanya mencederai demokrasi lokal, tetapi juga mengkhianati amanat leluhur yang mengajarkan untuk selalu bermusyawarah dalam menyelesaikan segala persoalan.
Upaya pemborongan partai politik demi mengkonsolidasikan kekuatan juga mencerminkan praktik politik transaksional yang mengabaikan kepentingan rakyat banyak. Partai-partai yang seharusnya menjadi wakil dari suara masyarakat, kini seolah-olah hanya menjadi alat tawar-menawar dalam perebutan kekuasaan.
Isu tekanan politik yang dialami oleh salah satu calon kandidat, Kader murni yang tidak diusung oleh partainya sendiri, semakin memperjelas betapa kotornya praktik politik di tanah Melayu Jambi saat ini.
“Tak lari gunung dikejar,” demikianlah seloko yang mengingatkan bahwa keadilan akan selalu menemukan jalannya, meskipun mereka yang berkuasa berusaha sekuat tenaga untuk menutupinya. Dinamika ini semakin diperparah dengan adanya tekanan-tekanan politik yang ditujukan untuk menjegal salah satu kandidat, sebuah praktik yang tidak hanya merusak semangat persaingan sehat, tetapi juga menodai kesucian proses demokrasi itu sendiri.
Namun, di tengah segala tipu daya dan tekanan, masih ada harapan bahwa masyarakat Jambi akan bangkit dan menuntut perubahan. Mereka sadar bahwa politik yang sehat dan beretika adalah kunci untuk mencapai kemakmuran dan keadilan yang sejati. Kini, saatnya bagi kita semua untuk kembali ke akar, menghormati nilai-nilai Melayu yang luhur, dan menuntut para pemimpin kita untuk bertindak sesuai dengan amanah rakyat.
Jika kondisi ini terus berlanjut, maka politik di tanah Melayu Jambi akan kehilangan esensinya sebagai politik yang berlandaskan nilai-nilai kebajikan dan keadilan. Alih-alih menjadi panggung bagi para pemimpin untuk menunjukkan kebijaksanaan dan visi mereka, politik Jambi berpotensi berubah menjadi arena perebutan kekuasaan yang kotor, di mana hanya mereka yang memiliki kekuatan dan pengaruh yang akan menang. Sungguh, ini adalah wajah buruk politik Melayu Jambi yang harus segera diubah jika kita ingin mengembalikan martabat dan kehormatan politik di tanah ini.